Demikian pertanyaan Nabi Muhammad s.a.w. kepada sahabatnya di suatu pagi. Para sahabat langsung menjawab, "Malaikat!".
Nabi s.a.w. menangkis, "Bagaimana para malaikat tidak beriman sedangkan mereka pelaksana perintah Allah?" Sahabat menjawab lagi, "Kalau begitu, para Nabi-lah yang imannya paling menakjubkan!"
"Bagaimana para Nabi tidak beriman, padahal wahyu turun kepada mereka," sahut Nabi s.a.w.
Untuk ketiga kalinya, sahabat mencoba memberikan jawaban, "Kalau begitu, sahabat-sahabatmu ya Rasul."
Nabi s.a.w. pun menolak jawaban itu dengan berkata, "Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan."
Rasul yang mulia meneruskan kalimatnya, "Orang yang imannya paling menakjubkan adalah kaum yang datang sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak melihatku. Mereka benarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka temukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka amalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka bela aku seperti kalian membela aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan ikhwanku itu!"
Bertolak dari riwayat di atas, saya belajar memaknakan iman sebagai sebuah tentangan. Semakin tinggi tingkat tentangan, semakin tinggi pula tingkat iman kita. Semakin sulit kita menjalankan sebuah keyakinan (iman), semakin tinggi pula nilai iman kita di sisi Allah.
Ilustrasi berikut mungkin boleh menyederhanakan persoalan: Seorang waliyullah tidak diragukan lagi telah melihat berbagai "keajaiban" dan "rahsia" Allah. Dia sudah menyaksikan dan merasakan getaran cinta ilahi. Kalau Allah mengangkat derjatnya, tentu saja kita tak akan hairan. Yang membuat kita takjub adalah, seorang pengurus yang sangat sibuk dan telah menyaksikan bahwa "time is money", namun tetap berusaha menunaikan solat lima waktu di celah-celah kesibukannya. Begitu juga dengan seorang kuli bangunan yang lebih banyak menggunakan potensi otot dibanding potensi otaknya, namun tetap berpuasa di bulan Ramadhan meskipun dia harus bekerja di tengah terik mentari.
Bagi saya, pengurus dan kuli bangunan tersebut memiliki iman yang paling menakjubkan.
Kita bukanlah sahabat Nabi s.a.w. yang menyaksikan secara langsung betapa mulianya akhlak junjungan kita itu; kita juga bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu; kita juga bukan waliyullah yang telah merasakan manisnya kasih sayang Allah. Kita adalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan.
Dalam kelemahan itulah kita masih beriman kepada Allah. Dalam ketidakhebatan kita itulah kita selalu berusaha mendekati Allah. Di tengah kesibukan dan beban ekonomi yang semakin meningkat, kita tetap keluarkan zakat dan sedekah. Tak sedikitpun kita akan gadaikan iman kita.
Di tengah dunia yang semakin kompetitif, kita masih sempatkan untuk solat. Di tengah godaan duniawi yang luar biasa, kita tahan nafsu kita di bulan Ramadhan. Di tengah kumpulan manusia yang putus asa dengan krisis ekonomi ini, kita masih boleh mensyukuri sejemput ni'mat yang diberikan Allah.
Nabi Muhammad s.a.w. menghibur kita, "Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku," Nabi s.a.w. ucapkan kalimat ini satu kali.
"Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku." Nabi s.a.w. ucapkan kalimat terakhir ini tujuh kali.
Salam Ukhuwah..~
Tiada ulasan:
Catat Ulasan